Sosmed Toxic Tapi Candu? Simak Faktanya!

book

Oleh: Keristin Oktalia

Zaman sekarang, siapa yang tidak mengenal sosial media? Salah satu jenis media massa yang sangat digandrungi oleh generasi saat ini dan memiliki banyak pengguna hampir di seluruh belahan Dunia.

Dengan adanya sosial media, kita bisa lebih mudah menjalani hubungan dengan teman – teman yang lokasi nya jauh dari daerah tempat tinggal kita. Kita juga bisa lebih mudah mengenal orang – orang dari media tersebut bahkan orang – orang yang sama sekali belum pernah kita temui secara langsung.

Namun, sosial media bisa menjadi sarang nya toxic seperti postingan yang menyesatkan, hoax, komentar jahat, dan berbagai hal yang menjadi sisi gelap dibalik trendingnya media sosial tersebut. Dilansir dari akun youtube Satu Persen – Indonesian Life School akan menjelaskan tentang fakta tentang adanya toxic dalam sosial media.

Sosial media bisa menjadi sarang toxic karena banyak orang yang beranggapan kalau mereka bebas memposting dan berkomentar sesuka hati mereka. Bahkan postingan dan komentar tersebut terkadang tidak masuk akal, atau bisa jadi hanya sebatas “kebencian” terhadap sesuatu. 

Sebenarnya sosial media itu tidak perlu dihindari karena kalau tidak ada sosial media tidak akan ada industri – industri lain yang muncul. 

Menurut Paul Zak seorang neuro ekonomis, interaksi yang dibangun dalam sosmed itu bisa membuat otak kita memproduksi hormon oksitosin sehingga berpengaruh pada pikiran kita.

Oksitosin sebenarnya bisa dikeluarkan ketika sedang jatuh cinta, dan ketika sedang berinteraksi dengan orang lain. Ternyata, oksitosin dalam otak kita dalam meningkat sebanyak 13%.

Otak kita menganggap bahwa interaksi yang kita lakukan di sosial media itu nyata seperti halnya berinteraksi secara langsung.

Sebagai makhluk sosial, kita memang membutuhkan interaksi dan sosial. Jadi, saat ini sosial media memang sangat erat dengan kehidupan kita untuk menyampaikan pesan ke orang lain, menunjukkan eksistensi diri, dan mencari informasi.

Bisa jadi, kita menganggap dunia sosial sama seperti dunia nyata. 

Sosial Media bisa dinilai toxic bisa jadi karena kita membanding – bandingkan diri kita dengan orang lain yang ada di sosmed tersebut atau biasa disebut social comparism. Dengan adanya kebebasan setiap orang memposting atau berkomentar, kita juga bisa melihat kehidupan orang lain dari sosmed tersebut.

Menurut Alfred Adler, manusia itu pada dasarnya adalah makhluk yang selalu punya rasa inferiority, “To be human is to have inferiority feelings”. Rasa inferiority atau rasa yang membuat kita lebih rendah daripada orang lain adalah perasaan yang membuat kita menjadi “kena mental” dalam melihat pencapaian orang lain.

Untuk menutupi perasaan ingeriority, akhirnya kita mengikuti trend dan ikut menunjukkan eksistensi diri terbaik. Namun, perasaan inferiority juga yang membuat terjadinya cyber bullying di sosial media dengan mencari celah untuk menjelek – jelakkan orang lain.

Selain itu, adanya anonimitas juga bisa menjadi pemicu terjadinya cyber bullying karena adanya perasaan “Seseorang bisa kabur setelah menjelek – jelekkan orang lain” dan tidak merasa bersalah karena tidak melihat perasaan orang tersebut.

Mungkin juga ada yang beranggapan bahwa orang – orang yang ada di sosial media itu tidak mengenal seseorang sehingga bisa bebas memposting atau berkomentar tentang orang tersebut.

Sebenarnya, sosial media bisa bermanfaat jika dilakukan sebagaimana fungsinya, seperti dengan adanya sosial media kita bisa mendapatkan ide untuk membuat konten, atau mendapatkan ide untuk berbisnis. Tetapi sosial media juga bisa melukai perasaan diri sendiri maupun orang lain jika tidak dilakukan dengan bijak, semua itu tergantung pilihan masing – masing manusia akan penggunaan sosial media tersebut.


Sumber referensi: Akun youtube Satu Persen – Indonesian Life School, https://www.youtube.com/watch?v=4zaxye5uqug

Sumber foto: https://pixabay.com/id/illustrations/raksasa-kejahatan-internet-vpn-6320010/